Baru aja ditelpon sama mama. Jelasin panjang lebar tentang papa.
Kemarin mereka pergi ke Surabaya, tanda tanya besar donk di kepalaku?
Ternyata papa periksa ke dokter, dan...
Papa kena jantung coroner. Mama jelasin ini itu. Yang gara-gara banyak ngerokok lah, makan lemak-lemak, dll :'(
Sebenernya kaget dan pengen banget nangis. Tapi nggak bisa. Nggak bisa karena denger suara mama tegar tapi bergetar.
Aku cuma bisa oooh oh aja. Nggak tau mesti bilang apa.
Cuma diam dan dengerin.
Silent :'(
Campur Aduk
Jumat, 21 Desember 2012
Kamis, 20 Desember 2012
Bbbrr ...
Aduh, kebelet pipis. Hahaha. Biarin deh, yang jelas, semua udah kelar :p
Udah selesai bayar semesteran. Lega deh. Habis gitu, hujan-hujan basah kuyup. Hhmm.
Apa yah yang mau diomongin. Nggak ada deh. :D
Ok deh kalo gitu. See u :D
Udah selesai bayar semesteran. Lega deh. Habis gitu, hujan-hujan basah kuyup. Hhmm.
Apa yah yang mau diomongin. Nggak ada deh. :D
Ok deh kalo gitu. See u :D
Rabu, 19 Desember 2012
ALIRAN FILSAFAT IDEALISME
Tokoh aliran idealisme adalah Plato
(427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu
filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang
semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita)
dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa
dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang
serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau
tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak
dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam
wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya
tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan
asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak
bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia
yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh
yang dikatakan dunia idea.
Prinsipnya, aliran idealisme
mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea
merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti
yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan
tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat
kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche,
sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Tegasnya, idealisme adalah aliran
ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal
yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2007 : 416)
Menurut Ahmad Agung yang dikutip
dari bukunya Juhaya S. Pradja (1987 : 38) ada beberapa jenis idealisme,
diantaranya :
1)
Idealisme subjektif atau juga disebut immaterialisme,
mentalisme, dan fenomenalisme. Seorang idealis subjektif
akan mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya
merupakan segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek
pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan
pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
2)
Idealisme objektif, yakni dikatakan bahwa akal menemukan apa yang
sudah terdapat dalam susunan alam.
3)
Idealisme individual atau idealisme personal, yaitu
nilai-nilainya dan perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme
ini muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme
monistik.
C. Tokoh Aliran Filsafat Idealisme
1. Plato (427-374
SM)
Plato adalah murid Sokrates. Aliran
idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa
terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan
yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta
penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Plato yang memiliki filsafat
beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk
masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap
orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai
keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat
menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari
atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada
pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah
bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan
cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan
doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini
tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja
yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
2. J. G. Fichthe (1762-1914 M)
Johann
Gottlieb Fichte adalah filosuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun
1780-1788 M. Berkenalan dengan filsafat Kant di Leipzig 1790 M. Berkelana ke
Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis Critique of Relevation pada zaman
Kant. Buku itu dipersembahkannya kepada Kant. Pada tahun 1810-1812 M ia menjadi
rektor Universitas Berlin.
Filsafatnya
disebut Wissenschaftslehre (ajaran ilmu pengetahuan). Dengan melalui metoda
deduktif fichte mencoba menerangkan hubungan Aku (Ego) dengan adanya
benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir, mengiakan diri maka terlahirlah
non-Ego (benda-benda). Dengan secara dialektif (berpikir dengan metoda : tese,
anti tese, sintese) Fichte mencoba menjelaskan adanya benda-benda.
Secara
sederhana dialektika Fichte itu dapat diterangkan sebagai berikut: manusia
memandang obyek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindera obyek tersebut,
manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses
intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan obyek itu menjadi
pengertian seperti yang dipikirannya.
Fichter
menganjurkan supaya kita memenuhi tugas, dan hanya demi tugas. Tugaslah yang
menjadi pendorong moral. Isi hukum moral ialah berbuatlah menurut kata hatimu.
Bagi seorang idealis, hukum moral ialah setiap tindakan harus berupa langkah
menuju kesempurnaan spiritual.
3. F. W. S. Schelling (1775-1854 M)
Friedrich Wilhem Joseph Schelling
telah mencapai kematangan sebagai filosuf pada waktu itu ia masih amat muda.
Pada tahun 1798 M, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di
Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang. Namun,
continuitasnya tetap ada. Dia adalah filosuf idealis Jerman yang telah
meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel. Ia pernah
menjadi kawan Fichte.
Bersama Fishte dan Hegel, Sheiling
adalah idealis Jerman yang terbesar. Pemikirannya pun merupakan mata rantai
antara Fishte dan hegel. Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas
manusia dan sebagai basis kebebasan moral, Schelling membahas realitas lebih
obyektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolute. Dalam pandangan
Scheiling, realitas adalah identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi
secara dialektis. Pada Schelling, juga pada Hegel, realitas adalah proses
rasional evolusi dunia menuju realisasi berupa suatu ekspresi kebenaran
terakhir. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna.
4. G. W. F. Hegel (1770-1031)
George Wilhem Friedrich Hegel lahir
pada tahun 1770 M di Stuttgart. Ini adalah tahun-tahun Revolusi Prancis yang
terkenal itu (1789 M), juga merupakan tahun-tahun berbunganya kesusasteraan Jerman..
Lessing, Goethe dan Schiller hidup pada periode ini juga.
Idealisme di Jerman mencapai
puncaknya pada masa Hegel. Ia termasuk salah satu filosuf barat yang menonjol.
Inti filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh, spirit), suatu istilah diilami
oleh agamanya. ia berusaha menghubungkan Yang Mutlak itu dengan Yang Tidak
Mutlak. Yang Mutlak itu roh (jiwa), menjelma pada alam dan dengan demikian
sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya Idea, artinya: berpikir.
Idea yang berpikir itu sebenarnya adalah
gerak yang menimbulkan gerak lain. Demikianlah proses roh atau Idea yang
disebut Hegel: Dialektika. Proses itu berlaku menurut hukum akal. Sebab itu
yang menjadi aksioma Hegel: apa yang masuk akal (rasional) itu sungguh riil,
dan apa yang sungguh itu masuk akal.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa
aliran idealisme ini aliran yang mengemukakan bahwa sesuatu hal akan muncul
berangkat dari ide. Ungkapan terkenal dalam aliran ini adalah “ segala yang ada
hanyalah yang ada” sebab yang ada itulah adalah gambaran atau perwujudan dari
alam pikiran (bersifat tiruan).
D. Idealisme dan Filsafat Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti
cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup
berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah
tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti
tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman
Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme lebih
dari 33 tahun di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael
Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek
khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul
pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah
filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunya yang mencerminkan kecemerlangan
pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan
studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni
Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar
dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat
idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu
sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang
keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara
fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga
untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak
sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19
secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan
sebagai ekspresi realitas spiritual.
Secara filosofis, pendidikan adalah
hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan
cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu
kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah
filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir,
berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Adapun
proses pendidikan dilakukan secara terus menerus dilakukan dari generasi ke
generasi secara sadar dan penuh keinsafan.
Sejak idealisme sebagai paham
filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai
saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola
pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran
tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan
masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut
paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk
masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Para murid yang menikmati pendidikan
di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh
pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus.
Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile
pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah
pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah
lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik,
sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan
hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan
kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik
merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang
menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka
lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman
pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat
idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam
kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual
merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa
adanya spiritual.
Pendidikan idealisme untuk
individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki
kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna,
hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya
diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan
tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan
sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan
seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya,
namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan
kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan
tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual
dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang
berkaitan dengan Tuhan.
E.
PENGARUH IDEALISME DI RUANG KELAS
Guru dalam sistem pengajaran yang
menganut aliran idealisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari
kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu
pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara
baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para
murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi
pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus
bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi
insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi
pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek
yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun
harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa
bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan
mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.
Guru menjadi agen penting dalam menolong siswa mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin Guru idealis menyajikan bahan belajar warisan budaya yang
terbaik. Membuat siswa berperan dalam menyumbangkan karya mereka untuk
masyarakat. Guru idealis akan menekankan para siswa untuk menggapai cita- cita
tertinggi yang mampu ia raih. Menunjukkan jalan bagi siswa untuk mencapai yang
terbaik dalam hidup. Visi hidup haruslah tinggi sehingga menginspirasi siswa
untuk berjuang lebih keras. Siswa tidak boleh terpengaruh dengan kondisi sosial
yang tidak mendukung pencapaian cita- cita. Siswa diajarkan untuk berani
bermimpi kemudian berjuang keras untuk mewujudkan mimpi- mimpinya.
Kurikulum yang digunakan dalam
pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang
objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook.
Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.
Power (1982:89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut
:
1). Tujuan Pendidikan
Pendidikan formal dan informal
bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar,
serta kebaikan sosial
2). Kedudukan Siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3). Peranan Guru
Bekerja sama dengan alam dalam proses
pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan
pendidikan siswa
4). Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan
kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memproleh pekerjaan
5). Metode
Diutamakan metode dialektika, tetapi
metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan
Menurut Kant, guru harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sabagai alat.
Guru harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia merupakan contoh yang baik
untuk diterima oleh siswanya. Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti
dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan
pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu
manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan
menikmati kehidupan abadi, yang berasal dari Tuhan. (http://salimafarma.blogspot.com/2011/05/aliran-idealisme.html)
ALIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
ALIRAN PRAGMATIS
A. Sejarah Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai
filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme
Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia
alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce
(1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Keiga
filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya.
Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey
dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James
adalah personal, psikilogis, dan bahkan mungkin religius.
Istilah pragmatisme berasal dari
perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari
hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
Istilah
lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme
dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena alirannya ini
menganggap bahwa potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia
harus dianggap sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan dan
masalah dalam pendidikan. Intelegensi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk
hidup, unuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Selain itu
instrumentalisme menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir,
melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai
tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tuju`n akhir. Kalau
suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat
untuk mencapai tujuan berikutnya.
Dikatakan
eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan
berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya. Eksperimentalisme
menyadari dan mempraktekkan bahwa asas eksperimen (percobaan ilmiah) merupakan
alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori. Percobaan-percobaan tersebut
akan membuktikan apakah suatu ide, teori, pandangan, benar atau tidak. Denganpercobaan
itulah subyek memiliki pengalaman nyata untuk mengerti suatu teori, suatu ilmu
pengetahuan.
B.
Konsep
Pragmatisme
Konsep dasar filsafat pragmatisme di
antaranya :
1. Realitas
Manusia dan
lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap
realitas. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah
cara-cara yang akan dikerjakannya. Menurut Dewey, manusia secara langsung
mencari dan menghadapi suatu realita disini dan sekarang sebagai lingkungan
hidup. Hakekat realita adalah perubahan yang terjadi secara terus-menerus dalam
kehidupan di jagat raya ini. Teori ini didasari pandangan yang disebut “panta rei”, artinya mengalir secara
terus-menerus. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka
tidak pernah memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh
pancaindera manusia.
Pengalaman manusia
tentang penderittaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan, kekacauan, kebodohan,
kegagalan hidup dan sebagainya merupakan realita yang dihadapi manusia sampai
ia mati. Pengalaman merupakan suatu perjuangan, karena hidup sebenarnya adalah
perubahan-perubahan itu sendiri.
2.
Pengetahuan
Pragmatisme
yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti. Pengetahuan sebagai
transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian
dari pengetahuan. Inti dari pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang
dihadapi oleh individu atau sekelompok individu. Pengalaman pada dasarnya
selalu berubah, maka unuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan
pengetahuan-pengetahuan atau hipotesis-hipotesis. Pragmatisme mengajarkan bahwa
tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Nilai pengetahuan manusia harus
dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis.
Menurut John Dewey,yang
dikemukakan oleh Waini rasyidin (1992 : 144), dalam menerapkan konsep
pragmatisme secara eksperimental dalm memecahkan masalah hendaknya melalui lima
tahapan yaitu :
a.
Indeterminate situasion
b.
Diagnosis
c.
Hypotesis
d. Hypotesis testing
e.
Evaluasion
3.
Nilai
Pragmatisme
mngemukakan pandangan tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Pragmatisme
menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita
menguji kebenaran pengetahuan. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia
dengan tidak tidak memihak, dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yang
tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.
Nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dan akan disetujui setelah diadakan
diskusi secara terbuka. Nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan
serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak sebagai kesatuan antara faktor
biologis dan sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu
realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam
perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan dan sebagai suatu ide.
C.
Implikasi Filsafat Pendidikan Pragmatisme
a. Konsep
pendidikan
Menurut Dewey, terdapat
dua teori pendidikan yang saling bertentangan. Kedua teori tersebut adalah
paham konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan). Menurut teori
konservatif, pendidikan adalah suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa
memperhatikan potensi yang ada pada anak. Jelasnya pendidikan merupakan proses
pembentukan jiwa dari luar, dimana siswa tinggal menerima pelajaran saja,
materinya sudah ditentukan pendidik.
Sedangakan “unfolding theory” berpandangan bahwa
anak akan berkembang dengan sendirinya, karena kekuatan laten yang
dimilikinya. Menurut pragmatisme,
pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, tetapi merupakan
suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu
dapat dikatakan baik anak maupun dewasa selalu belajar dari pengalaman.
John Dewey mengemukakan
perlunya atau pentingnya pendidikan berdasarkan atas tiga pokok pemikiran,
yaitu,
1). Pendidikan merupakan kebutuhan
hidup
Karena adanya anggapan
baahwa pendidikan selain sebagai alat, juga berfungsi sebagai pembaharuan
hidup, “a renewal of life”. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju pada
pembaharuan.hidup merupakan keseluruhan tingkatan pengalaman individu dengan
kelompok. Untuk kelangsungan hidup diperlikan usaha untuk mendidik anggota
masyarakat, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan sebagai minat pribadi (personal interest). Bahwa pembaharuan
hidup tidak otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, seni, ilmu
pengetahuan, dan perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya
membutuhkan pendidikan.
2). Pendidikan sebagai pertumbuhan
Menurut
Dewey, pertumbuhan merupakan perubahan yang berlangsung terus untuk mencapai
suatu hasil selanjutnya. Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Disitu
anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh
menjadi sesuatu yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri
dari kebelummatangan adalah adanya ketergantungan dan plastisitas anak. Kalau
diterapkan pada pendidikan, bahwa kekuatan untuk tumbuh tergantung pada
kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain dan plastisitas yang dimiliki
anak. Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang
merupakan pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil “habituation” , yaitu
keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada aktivitas dengan lingkungan dan
kapasitas yang aktif untuk mengadakan penyesuaian kembali.
3). Pendidikan sebagai fungsi
sosial
Kelangsungan hidup
terjadi karena self renewal. Kelangsungan
ini terjadi karena pertumbuhan , karena pendidikan yang diberikan pada
anak-anak dan pemuda di masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat
bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan “a process of leading and bringing up”, pendidikan merupakan suatu
cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing`anak yang masih belum matang
menurut bentuk susunan sosial sendiri.
Sekolah merupakan alat
transisi, merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi, yaitu,
yang pertama, menyederhanakan dan menerbitkan faktor-faktor bawaan yang
dibutuhkan untuk berkembang. Kedua, memurnikan dan mengidealkan kebiasaan
masyarakat yang ada. Ketiga, menciptakan lingkungan yang lebih luas, dan lebih
baik daripada yang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk
dikembangkan.
b.
Tujuan Pendidikan
Objektivitas tujuan pendidikan harus
diambil dari masyarakat dimana anak hidup, diman pendidikan berlangsung, karena
pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Menurut pragmatisme, tujuan pendidikan
tidak dapat ditetapkan pada semua masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan
timbal balik antara masing-masing individu antara masyarakat tersebut. Tujuan
pendidikan adalah kehidupan yang baik, yang dapat dimiliki oleh individu maupun
masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan pertumbuhan yang maksimum, yang dapat
diukur oleh yang memiliki intelegensi yang baik. Perbuatan yang cerdas
merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan.
c.
Proses Pendidikan
Menurut filsafat pragmatisme, pelajaran
harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta
dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran terdiri atas seperangkat tindakan untuk
memberi isi kepada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu. Dewey tidak setuju
pada bahan pelajaran yang telah disampaikan terlebih dahulu. Karena realitas
dihasilkan dari interaksi manusia dengan lingkungannya, maka anak harus
mempelajari dunia seperi dunia mempengaruhinya, dimana ia hidup. Sekolah tidak
dipisahkan dari kehidupan, seperti dikemukakan Bode : sekolah merupakan cara
khusus untuk mengatur lingkungan, direncanakan, dan diorganisasikan, dengan
sekolah kita dapat menolong anak yang dalam menciptakan kehidupan yang baik.
Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk suatu kehidupan.
Pragmatisme meyakini
bahwa pikiran anak itu aktif dan kreatif, tidak secara pasif saja menerima apa
yang diberikan gurunya. Pengetahuan dihasilkan dengan transaksi antara manusia
dengan lingkungannya, dan kebenaran adalah termasuk pengetahuan. Dalam situasi
belajar, guru menyusun situasi-situasi belajar mengenai masalah utama yang
dihadapi. Dalam menentukan kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisah,
harus merupakan satu kesatuan. Caranya adalah mengambil suatu masalah menjadi
pusat segala kegiatan.
Kesimpulan
dari Implikasi
Peran guru dalam pendidikan
pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua
kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang
dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang
sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.
Kekeliruan Pragmatisme:
1. Kritik dari
segi landasan ideologi pragmatisme
Pragmatisme
dilandaskan pada pemikiran dasar pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme).
Dengan demikian konteks ideologis pragmatisme berarti menolak agama sebagai
sumber ilmu pengetahuan.
2. Kritik dari
segi metode pemikiran
Pragmatisme
yang tercabang dari empirisme nampak jelas menggunakan metode ilmiah, yang
dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang
berkenaan dengan sains teknologi maupun ilmu sosial kemasyarakatan ini adalah
suatu keilmuan.
3. Kritik
terhadap pragmatisme sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang
mengukur kebenaran suatu ide dengan menggunakan praktis yang dihasilkannya, untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Ide ini bertentangan dari tiga sisi,
yaitu:
a. Pragmatisme
mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya.
b. Pragtisme
menafikkan peran akal manusia (pragmatisme telah menundukkan keputusan akal
kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instingtif).
c. Pragmatisme
menimbulkan realitivitas/ kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek
nilai ide baik individu, kelompok dan masyarakat dan perubahan konteks waktu
dan tempat.
DAFTAR RUJUKAN
Syaripudin,
Tatang. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: Percikan Ilmu.http://sataaswelputra.blogspot.com/2008/06/filsafat-pragmatisme-dan-implikasinya.html#ixzz2D0NcqIZ6
Langganan:
Postingan (Atom)